Web 2.0 dan Pelanggengan Kapitalisme

Muhammad Fachri Darmawan
7 min readNov 8, 2021
koran.tempo.co

Sejak era internet, kata buruh mengalami perluasan makna. Buruh bukan hanya individu yang bekerja pada pabrik, sektor pertanian, dan manufaktur. Hari ini, buruh dapat diartikulasikan kepada pengguna platform teknologi berbasis digital. Era internet membentuk produksi jenis baru, pengguna layanan menjadi buruh pencipta konten. Pekerja bekerja setiap detik, tanpa ada batasan teritori, waktu siang dan malam, dan kesadaran bahwa mereka sedang dipekerjakan.

Perkembangan website sampai ke tahap web 2.0 menginisiasi munculnya berbagai bentuk komunikasi digital jenis baru yaitu, media sosial. Perusahaan media sosial, seperti Instagram, Facebook, atau Twitter mengakumulasi modal dengan cara memanfaatkan iklan yang dapat didistribusikan secara efektif ke penggunanya (Fuchs, 2014).

Prinsip dasar kapitalisme adalah dengan mengakumulasi modal. Oleh karena itu, sistem memaksa pekerja harus bekerja lebih untuk memproduksi komoditas yang produktif. Di dalam dunia daring, prinsip kapitalisme masih menggunakan skema yang sama. Bedanya, bentuknya itu bias. Dunia digital memungkinkan pengguna untuk menerima iklan sesuai dengan aktivitas dan perilaku mereka di internet. Di sana, iklan bekerja semakin efektif memasuki ruang algoritma individu, sehingga pengguna media sosial mendapatkan iklan sesuai dengan perilaku internetnya.

Media digital daring merevolusi sistem produksi. Jika dulu buruh bekerja di pabrik dipaksa untuk melakukan kerja dengan produktivitas tinggi. Batasan waktu dalam dunia digital menjadi lebur. Buruh digital tidak merasa sedang diekploitasi, di satu sisi mereka menjadi tangan-tangan yang menggerakan produktivitas perusahaan media sosial secara masif. Di sana, batas dan ruang menjadi bias, setiap orang dari berbagai dunia “bekerja” setiap detik bahkan milidetik agar konten-konten di dalam media sosial tetap terbentuk. Mereka secara tidak sadar telah melanggengkan sistem kapitalisme (Fuchs, 2014).

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengantarkan publik untuk ikut serta pada aktivitas sosial yang dimediasi oleh komputer. Ditemukannya website pada tahun 1990, memungkinkan publik dapat berinteraksi dan melakukan proses komunikasi yang lebih kompleks dan menyampaikan pesan dengan bentuk yang unik. Website merupakan halaman yang menampilkan informasi. Pada awalnya website digunakan untuk mengirim perintah antara satu pengguna komputer dengan pengguna lainnya.

Menurut Brugger (2009) website merupakan bagian terpenting di dalam kajian media. Terdapat hubungan yang kuat antara kajian media dengan kegiatan manusia. Media, komunikasi, dan publik adalah bagian yang tidak terpisahkan di dalam kajian media yang berhubungan dengan website (h. 116). Di dalam penggunaan website terdapat model-model komunikasi yang dapat dilihat seperti adanya pengirim, media, penerima, konteks, dan hubungan kesemuanya (Brugger, 2009).

Terdapat beberapa perkembangan website dari waktu ke waktu. Perubahan ini terjadi sebagai implikasi dari perkembangan teknologi komunikasi dan internet itu sendiri. Website berkembang dari tahap yang hanya bisa dibaca ke tahap yang bisa digunakan secara mandiri oleh penggunanya.

Inilah yang didefinisikan sebagai web 1.0, yang merupakan tahap di mana penggunanya hanya bisa melihat informasi untuk kepentingan sendiri. Pada tahap web 2.0, website memberikan ruang pada penggunanya untuk dapat melakukan kegiatan memproduksi konten. Dengan kata lain, website mulai memberikan ruang kepada publik untuk menjadi penikmat sekaligus pembuat.

Web 2.0 menggantikan teknologi web 1.0. Web 2.0 menyajikan produksi informasi bersama, social networking, wadah informasi kolektif, dan persebaran nilai. Sehingga konsep web 2.0 adalah interaktif, kolektif, dan partisipatif.

Mengutip dari Barassi (2017) banyak sarjana yang teknokratik memandang optimis kehadiran teknologi jenis baru. Padahal, web 2.0 membawa isu privasi dan sebagai ritus yang faktanya mewadahi bentuk baru dari eksploitasi kapitalis (Barassi, 2017). Faktanya, ketika buruh yang bekerja memproduksi konten di web 2.0 berupa informasi dan membangun jaringan, tanpa disadari mereka telah melanggengkan praktik kapitalisme.

Secara makro, kapitalisme media dan komunikasi dapat dilihat dari sisi produksi, distribusi, dan penerimaan. Dari sisi produksi, media merupakan sentralisasi kapital. Dari sisi distribusi, transmisi teknologi sebagai alat yang mengakumulasi modal infrasturktur media. Dari sisi penerimaan, media menjadi sirkulasi ideologi.

Media membentuk struktur secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, media membentuk tembok yang membatasinya dengan pekerja yang berada pada struktur di bawahnya. Pekerja berada di struktur horizontal, di mana mereka menjadi mesin pencetak keuntungan bagi struktur yang ada di atasnya. Dengan kata lain, media memisahkan diri dengan buruh yang memberikan keuntungan kepadanya. Media dikonsepsikan sebagai mesin produksi yang tidak bisa dimiliki oleh semua orang.

Media membutuhkan konten untuk tetap menjalin hubungan dengan pasar dan iklan yang memberikan keuntungan finansial. Dengan kata lain, untuk tetap eksis media membutuhkan hubungan dengan iklan. Menurut Fuchs dan Mosco (2015), konten media memiliki dampak penerimaan yang menyebabkan publik membentuk kesadaran palsu.

Konten-konten ini bersifat ideologis dan dilanggengkan untuk menjamin kapitalisasi modal. Sebagai contoh, konten yang laku di pasaran akan menjadi viral. Di mana perhatian publik ini akan dimanfaatkan untuk distribusi iklan. Tujuannya adalah untuk melanggengkan modal pemilik media. Dengan prinsip itu media akan tetap untung sementara buruhnya secara tidak sadar sedang dieksploitasi.

Jonathan Pace (2018) mencoba mencari keterhubungan antara media digital dan kapitalisme. Menurutnya, kapitalisme digital merupakan terminologi yang kompleks. Ia mengutip dari Schiller (1999) yang menyebutkan bahwa kapitalisme di dalam dunia digital dimaknai sebagai sentralisasi kepemilikan dan kekuatan media di mana media menjadi kekuatan untuk melakukan kontrol dan produksi kepada aparatus yang memegang berbagai sektor media yang produktif. Dalam konteks itu, Schiller (1999) menyebut bahwa media sebagai entitas yang muncul sebagai konsekuensi dari perkembangan ekonomi global. Sehingga, media digital tidak terbatas pada ruang teritori negara tertentu melainkan berada pada tataran yang supranasional.

Schiller menambahkan, bahwa sejak era komputer 1960 migrasi teknologi menyebabkan berbagai perusahaan memindahkan platform kerjanya menjadi digital dan terkomputasi. Secara keseluruhan kapitalisme digital menggambarkan sebuah hubungan antara jaringan produksi supranasional dan privatisasi kepemilikan media berbentuk digital dengan tujuan melanggengkan kapitalisme.

Fuchs (dalam Pace, 2018) menambahkan bahwa terdapat tiga aspek di dalam kapitalisme digital yang meliputi mesin produksi, objek produksi, dan kerja buruh. Menurutnya, di era digital, informasi telah mengubah bentuk produksi. Informasi menjadi mesin yang penting untuk menciptakan komoditas. Pace (2018) menambahkan bahwa Kapitalisme itu bersifat informasional, karena Ia berperan untuk mengonstruksi komoditas melalui saluran teknologi informasi.

Kapitalisme digital merupakan proses kolektif di mana momen dan situs teknologi media memfasilitasi tendensi kapitalisme (Pace, 2018). Pace mengingatkan bahwa kapitalisme digital adalah konsekuensi dari perjalanan sejarah, sehingga kapitalisme digital merupakan terminologi yang kompleks. Dengan kata lain, kapitalisme digital menjadi modus operandi yang mengubah kebutuhan struktur akan modal dalam bentuk digital.

Facebook, Twitter, dan aplikasi berbasis web lainnya, menjadi ritus di mana manusia berkumpul, melakukan aktivitas sosial, dan komunikasi dengan yang lain. Oleh karenanya mereka adalah bentuk dari masyarakat di mana sebagian hidupnya berada dalam spektrum digital yang melakukan proses produksi, distribusi, dan resepsi.

Di sisi lain, mereka juga menjadi bagian dari kapitalisme karena di dalam aplikasi dan web 2.0 mereka melakukan kerja demi melanggengkan penumpukan modal perusahaan melalui Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya. Konten yang dibuat seolah milik pribadi, padahal konten yang mereka buat melanggengkan hubungan mereka dengan pengguna lain. Tanpa disadari, menjadi “buruh” yang bekerja bersama-sama demi kelangsungan perusahaan media sosial. Ketika massa telah terkumpul, penyedia layanan media sosial menerima iklan sebagai sokongan atas perusahaannya.

Sejak era internet, kata buruh mengalami perluasan makna. Buruh bukan hanya individu yang bekerja pada pabrik, sektor pertanian, dan manufaktur. Hari ini, buruh dapat diartikulasikan kepada pengguna platform teknologi berbasis digital. Era internet membentuk produksi jenis baru, pengguna layanan menjadi buruh pencipta konten. Pekerja bekerja setiap detik, tanpa ada batasan teritori, waktu siang dan malam, dan kesadaran bahwa mereka sedang dipekerjakan.

Sebagai konsekuensi dari platform yang bersifat supranasional, yang jika diakumulasikan buruh pembuat konten bekerja amat produktif membuat konten pada penyedia layanan media sosial. Kepuasan karena kontennya diberi tanda like atau dibalas oleh pengguna lain merupakan bentuk dari pemenuhan akan hasrat eksistensial. Di satu sisi, perusahaan semakin kaya dengan pasokan iklan di sisi yang lain buruh pembuat konten lebih mendapatkan kesenangan pribadi.

Marx mengatakan bahwa ideologi membalikan kesadaran. Seperti kamera obscura, realitas yang individu lihat merupakan kesadaran yang palsu atau terbalik. Ideologi merupakan komoditas dari fetisisme, di mana hal itu menjadi kabur di dalam keseharian. Sebagai contoh, era internet dinilai sebagai sebuah kemajuan begitu pula dengan media sosial. Individu atau masyarakat hanya akan melihat dampak-dampak sektoral sampai lupa di saat yang bersamaan terjadi eksploitasi atas pekerja.

Di dalam pemikiran Marx mengenai kerja didefnisikan sebagai konsekuensi logis dari eksistensi manusia. Di mana, manusia melakukan kerja untuk mendapatkan kebutuhan materilnya. Marx menyebut kerja merupakan persimpangan antara manusia dan alam, tanpa kerja manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, kata kerja secara historis mengalami perubahan.

Kerja tidak lagi didefinisikan sebagai aktivitas manusia memenuhi kebutuhan materilnya, melainkan sebuah ekspresi dari dominasi ekonomi, dalam hal ini kapitalisme. Kerja yang dilakukan manusia tidak lagi semata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melainkan kerja yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nilai tukar. Dengan kata lain, untuk memenuhi kebutuhan materil manusia tidak lagi berinteraksi dengan alam, tetapi melakukan kerja pada alat-alat produksi untuk mendapatkan nilai tukar lain sebelum dirinya mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan.

Di dalam ide mendasar Marx mengenai kapitalisme, bahwa mesin produksi tidak dimiliki oleh semua orang sehingga kesejahteraan tidak bisa dibagi rata. Hasilnya adalah pembagian kesejahteraan yang timpang. Pemilik modal mendapatkan keuntungan yang lebih banyak daripada pekerja yang bekerja atas mesin produksi mereka. Di situlah muncul konsep yang diterjemahkan dari kata buruh.

Barassi, V. (2017). Activism on the Web. Activism on the Web. https://doi.org/10.4324/9781315870991

Brugger, N. (2009). Website history and the website as an object of study. New Media and Society, 11(1–2), 115–132. https://doi.org/10.1177/1461444808099574

Fuchs, C. (2014). Digital Labour and Karl Marx. New York: Routledge.

Fuchs, C., & Mosco, V. (2015). Marx in the Age of Digital Capitalism (Vol. 80). Leiden: Brill.

Pace, J. (2018). The concept of digital capitalism. Communication Theory, 28(3), 254–269. https://doi.org/10.1093/ct/qtx009

Schiller, D. (1999). Digital capitalism: Networking the global market system. Cambridge, MA: MIT Press.

--

--