The Stooges dan Konsep Nihilisme

Muhammad Fachri Darmawan
4 min readOct 4, 2021

“We can comprehend only a world which we ourselves have made” – Ni­etzsche

Pendefinisian adalah salah satu dosa terbesar umat manusia. Akui saja lah ya, karena kebanyakan dari kita akan cenderung melakukan konseptualisasi terhadap suatu hal melalui peta pengetahuan yang terkonsep di kepala. Nietzsche menyebutnya sebagai paradoks pengetahuan, bahwa pada setiap upaya merumuskan atau mendefinisikan dunia, kita tengah melakukan sebuah kebodohan. Dari paradoks ini tercipta dua kutub ekstrem, di satu sisi terdapat kalangan penakluk dunia dengan slogan will to power, sedangkan di sisi lain terdapat para nihilis yang mengusung pandangan bahwa dengan terbatasnya pengetahuan, maka tidak ada satu pun konsep, pengetahuan, atau nilai yang dapat menjadi pijakan kebenaran. Kedua kalangan, baik para penakluk pengetahuan ataupun para nihilis, berisi jajaran nama besar dalam sejarah. Namun, untuk alasan “kesukaan subjektif”, tulisan ini hanya akan menilik sisi nilihilis atau lebih tepatnya empat orang nihilis yang tergabung dalam sebuah band bernama The Stooges.

Stooges sendiri mengacu pada arti sepele, “peran tidak penting (dalam sebuah sandiwara)”. Dengan nama tersebut, mereka menjelma menjadi salah satu grup nihilis paling primitif yang pernah terekam dalam sejarah musik populer. Dengan kata lain, The Stooges merupakan musisi yang berhasil menampilkan ekspresi artistik nihilisme, melalui kesadaran akan insignifikansi yang menohok.

Kehadiran The Stooges sendiri tidak terlepas dari paradoks pengetahuan, bahwa pada akhirnya grup ini kerap dilabelkan sebagai grup musik punk rock, hanya karena agresifitas, keliaran musik, dan perilaku rebel para personilnya, terutama Iggy Pop sang vokalis yang dinobatkan sebagai “The Godfather of Punk”, sebuah subkultur yang bahkan belum lahir saat itu. Pembacaan lebih bertanggung jawab menyandingkan The Stooges ke dalam jajaran proto-punk, sebutan bagi berbagai genre musik yang mempengaruhi punk.

Sekilas, terdapat dua hal yang menjadikan The Stooges panutan bagi generasi punk, yaitu musik dan agresifitas, namun apabila ditelusuri, pandangan ini menjadi tidak beralasan. Pertama, adalah tidak adil jika permainan gitar blues-rock Ron Asheton disandingkan dengan estetika minimalis punk, karena sama sekali tidak ada kata minimalis dalam kamus Ron. Kedua, bahwa agresifitas dan keprimitifan yang ditampilkan oleh The Stooges bukanlah sebuah pernyataan politik atau gerakan sosial seperti yang mendasari kelahiran punk di era 70-an, melainkan sebuah ekspresi artistik yang secara sadar dihadirkan untuk membangun narasi nihilisme.

Dalam hal ini, para personil The Stooges hanya memainkan peran yang menampilkan teater penghancuran batas, tanpa tenggelam dalam kemarahan dan agresifitas komunal seperti yang terjadi pada generasi punk satu dekade kemudian. Formula The Stooges hanya satu, menjadi band yang lebih menggangu daripada The Rolling Stones dan lebih nihilis dari The Velvet Underground.

Lalu, jika The Stooges bukanlah bagian dari punk, lalu apa yang menjadi benang merah antara generasi beda zaman tersebut? Proses penghancuran nilai, yang menurut Nietzsche merupakan pengalaman sejarah yang berulang, dapat menjadi salah satu jawaban. Pada akhir dekade 1960, The Stooges hadir untuk menghardik norma peace and love yang tinggal menjadi slogan, sedangkan di akhir 1970, subkultur Punk mendobrak tata kemapanan yang tidak lagi sesuai dengan realita sosial.

Namun, ketika Punk era 70-an bergerak dalam ritme anarki yang menyuarakan penghancuran otoritas lama, seperti yang juga diusung oleh Sex Pistols, The Clash, dan subkultur punk setelahnya, The Stooges nampaknya tidak begitu peduli pada penghancuran otoritas ataupun diskursus politik di zamannya. Mereka nampaknya berpijak pada pandangan nihilis dalam bentuk yang ekstrem, di mana penghancuran nilai ditujukan untuk kehancuran itu sendiri.

Dalam lirik 1969, Iggy berujar, “It’s 1969, another year for nothing to do”, lirik ini dan juga lirik lain lagu-lagu mereka adalah gelombang skeptisisme bertubi-tubi. Iggy bukanlah seorang revolusiner yang mengusung perlawanan pada otoritas dan menawarkan dunia yang lebih baik. Ia tidak menawarkan apapun, dan dengan sadar menyatakan bahwa pada akhirnya “kita semua akan hancur” (tergambar dalam anthem kehancuran, We Will Fall).

Bahkan lirik “I wanna be your dog” mengingatkan pada tokoh Lucky dalam drama Samuel Beckett “Waiting for Godot”, bahwa Lucky menjadi begitu menakutkan karena ia melakukan penghancuran nilai paling esensial, yaitu melalui penghancuran (nilai) diri dan membiarkan tali kekang Pozzo, menggeretnya sepanjang cerita. Bagi The Stooges, pengaruh ini mereka peroleh dari band dekstruktif yang lahir sebelumnya, The Doors. Iggy, seperti halnya Morrison melakukan tindakan penghancuran nilai yang sama berbahayanya. Namun, The Stooges melakukan apa yang tidak berani dilakukan oleh The Doors, mereka melakukan penghancuran diri, juga dalam segi musik. Sehingga, musik kasar nan mentah The Stooges bukanlah bentuk ketidakmatangan, akan tetapi sebagai bentuk pernyataan sikap, baik dalam bentuk nilihistik ataupun estetik para personilnya.

The Stooges sendiri menggebrak dalam waktu singkat dengan mengeluarkan tiga album fenomenal, The Stooges (1969), Fun House (1970) dan Raw Power (1973). Ketiga album tersebut tidak mendapatkan banyak pendengar karena bunuh diri musikalitas yang mereka lakukan dari awal. Dan keempat pemuda yang tergabung dalam The Stooges, James Ostenberg (Iggy Pop), Ron Asheton, Dave Alexander, dan Scott Asheton tidak bermain-main dalam penghancuran musik yang mereka lakukan, karena dalam proses pembuatan albumnya terdapat nama John Cale dan David Bowie, dua musisi yang juga dikenal dengan perilaku nihilis dosis tinggi.

Iggy Pop memberikan penggambaran singkat akan musiknya, "It was free-fall. We didn’t stop till we hit the bottom". Keberanian inilah yang menjadikannya prolifik, bahwa dalam setiap kemandegan nilai yang hadir dalam sejarah, kita merindukan sosok Iggy, sang nihilis tanpa ampun.

--

--